HUKUM
TENTANG PERIKATAN DAN PERJANJIAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Sebagai
mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang
terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan
sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri
untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir
untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalam sebuah perikatan dan
perjanjian.
Dalam pembahasan ini, pemakalah berusaha memjelaskan tentang
perikatan dan perjanjian melalui makalah sederhana ini tentang Pokok-pokok
Hukum Perikatan yang dalam KUHPerdata sendiri diatur di buku III.
1.2 RUMUSAN MASALAH
- Apa pengertian hukum perikatan?
- Apa dasar hukum perikatan?
- Apa asas hukum perikatan?
- Apa saja macam-macam perikatan?
- Bagaimana hapusnya perikatan?
- Apa pengertian hukum perjanjian?
- Apa saja macam-macam perjanjian?
- Apa pengertian standar kontrak dan pengertian prestasi dan weprestasi dalam kontrak?
- Bagaimana proses pelaksanaan dan pembatalan perjanjian?
1.3 TUJUAN
- Mengetahui pengertian perikatan.
- Mengetahui dasar hukum perikatan.
- Mngetahui asas hukum perikatan.
- Mengetahui macam-macam perikatan.
- Mengetahui hapusnya perikatan.
- Mengetahui pengertian perjanjian.
- Mengetahui macam-macam perjanjian.
- Mengetahui pengertian standar kontrak dan pengertian prestasi dan weprestasi.
- Mengetahui proses pelaksanaan dan pembatalan perjanjian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Hukum Perikatan
2.1.1
Pengertian Hukum Perikatan
Perikatan
adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”.
Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan orang yang lain.
Hal yang mengikat itu adalah pristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan,
misalnya jual beli, hutang-piutang, dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran,
kematian, dapat berupa keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah
bersusun. Pristiwa hukum itu menciptakan hubungan hukum.
Hukum perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan
hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum. Akibat hukum dari
suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari
rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum
harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family
law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum
pribadi (personal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian
perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang
atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian
mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan
hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana
pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas
suatu prestasi. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan
untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat
sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak
melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk
tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah
disepakati dalam perjanjian. Contohnya; perjanjian untuk tidak mendirikan
bangunan yang sangat tinggi sehingga menutupi sinar matahari atau sebuah
perjanjian agar memotong rambut tidak sampai botak.
2.1.2 Dasar Hukum
Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang
ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang dan sumber dari
undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang dan perbuatan manusia.
Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang
menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dasar hukum perikatan
berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut:
- Perikatan
yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
- Perikatan
yang timbul dari undang-undang
- Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(Onrechtmatigedaad) dan perwakilan sukarela (Zaakwaarneming).
Menurut
pasal 1233 BW ada dua macam sumber hukum perikatan, yakni perjanjian (pasal
1313 s.d 1351 BW) dan undang-undang ( pasal 1352 s.d 1380 BW).
Macam-macam
sumber hukum:
1. Perjanjian ;
2. Undang- Undang, Yang Dapat
Dibedakan Dalam Bentuk: Undang- Undang Semata- Mata dan Undang- Undang Karena
Perbuatan Manusia Yang Halal Melawan Hukum
3. Jurisprudensi
4. Hukum Tertulis Dan Tidak Tertulis
5. Ilmu Pengetahuan Hukum
2.1.3 Asas Hukum
Perikatan
1. Asas
Konsensualisme
Asas konsualisme dapat disimpulkan dari
Pasal 1320 ayat 1 KUHPdt. Pasal 1320 KUHPdt. Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat : (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (2)
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (3) suatu hal tertentu (4) suatu sebab
yang halal. Pengertian kesepakatan dilukiskan dengan sebagai pernyataan
kehendak bebas yang disetujui antara pihak-pihak.
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sun servanda berkaitan dengan
akibat suatu perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang. Para pihak harus menghormati
perjanjian dan melaksanakannya karena perjanjian itu merupakan kehendak bebas
para pihak.
3. Asas
Kebebasan Berkontrak
Pasal 1338 KUHPdt :
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk Membuat atau tidak
membuat perjanjian, Mengadakan perjanjian dengan siapapun, Menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, Menentukan bentuk perjanjian,
yaitu tertulis atau lisan.
Di
samping ketiga asas utama tersebut, masih terdapat beberapa asas hukum
perikatan nasional, yaitu :
1. Asas
kepercayaan
2. Asas
persamaan hukum
3. Asas
keseimbangan
4. Asas
kepastian hukum
5. Asas moral
6. Asas
kepatutan
7. Asas
kebiasaan
8.Asasperlindungan
2.1.4
Macam-Macam
Perikatan
1. perikatan
sipil (civiele verbintenissen) yaitu, perikatan yang apabila tidak dipenuhi
dapat dilakakukan gugatan misalnya jual-beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa dan
sebagainya.
2. Perikatan
wajar ( natuurlijke verbintenissen) yaitu, perikatan yang tidak mempunyai hak
tagihan tetapi kalau sudah dibayar atau dipenuhi tidak dapat diminta kembali.
Misalnya misalnya utang karena taruhan perjudian, persetujuan diwaktu pailit,
dan sebagainya.
3. Perikatan
yang dapat dibagi, yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya dapat
dibagi-bagi dalammemenuhi prestasinya. Misalnya perjanjian membangun rumah,
jembantan dan sebagainya.
4. Perikatan
yang tak dapat dibagi, yaitu perikatan yang menurut sifat dan maksudnya tak
dapat dibagi-bagi dalam melaksanakan prestasinya. Misalnya perjanjian menyanyi.
5. Perikatan
pokok ialah perikatan yang dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada
perikatan-perikatan lainnya misalnya jual-beli, sewa-menyewa.
6. Perikatan
tambahan yaitu, perikatan tambahan dari perikatan pokok dan tak dapat berdiri
sendiri. Misalnya perjanjian gadai, hak tanggungan yang merupakan tambahan
perjanjian utang-piutang.
7. Perikatan
spesifik yaitu, perikatan yang secara khusus ditetapkan macam prestasinya.
8. Perikatan
generic yaitu, perikatan yang hanya ditentukan menurut jenisnya.
9. Perikatan
sederhana yaitu, perikatan yang hanya ada satu prestasi yang harus dipenuhi
oleh debitur.
10. Perikatan
jamak yaitu, perikatan yang pemenuhannya oleh debitur lebih dari satu macam
prestasi harus dipenuhi maka disebut bersusun, tapi jika hanya salah satu saja
diantaranya yng harus dipenuhi itu maka disebut perikatan boleh pilih.
Perikatan fakultatif ialah perikatan yang telah ditentukan prestasinya akan
tetapi jika karena suatu sebab tidak dapat dipenuhi maka debitur berhak member
prestasi yang lain.
11. Perikatan
murni ialah perikatan yang prestasinya seketika itu juga dipenuhi.
12. Perikatan
bersyarat ialah perikatan yang pemenuhannya oleh debitur digantungkan kepada
suatu syarat yaitu keadaan-keadaan yang akan datang atau yang pasti terjadi
jika perikatannya itu pemenuhannya masih digantungkan pada waktu tertentu maka
disebut perikatan dengan penentuan waktu.
2.1.5
Bagaimana
Hapusnya Perikatan
Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH
Perdata, ada sepuluh cara hapusnya perikatan. Kespeluh cara tersebut diuraikan
satu demi satu berikut ini :
1.
Pembayaran
Yang dimaksud dengan pembayaran
dalam hal ini tidak hanya meliputi penyerahan sejumlah uang, tetapi juga
penyerahan suatu benda. Dalam hal objek perikatan adalah pembayaran uang dan
penyerahan benda secara timbal balik, perikatan baru berakhir setelah
pembayaran uang dan penyerahan benda.
2.
Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Penitipan
Jika debitor telah melakukan
penawaran pembayaran dengan perantaraan notaries, kemudian kreditor menolak
penawaran tersebut, atas penolakan kreditor itu kemudian debitor menitipkan
pembayaran itu kepada panitera pengadilan negeri untuk disimpan. Dengan
demikian, perikatan menjadi hapus ( Pasal 1404 KUH Perdata ).
3.
Pembaruan Utang ( Novasi )
Pembaruan utang terjadi dengan cara
mengganti utang lama dengan utang baru, debitor lama dengan debitor baru. Dalam
hal utang lama diganti dengan utang baru, terjadilah penggantian objek
perikatan, yang disebut “ Novasi Objektif”. Disini utang lama lenyap. Dalam hal
terjadi penggantian orangnya (subyeknya), maka jika debitornya yang diganti,
pembaruan ini disebut “Novasi Subjektif Pasif” jika kreditornya yang diganti,
pembaruan ini disebut “novasi subjektif aktif”. Dalam hal ini utang lama
lenyap.
4.
Perjumpaan Utang (kompensasi)
Dikatakan ada penjumpaan utang
apabila utang piutang debitor dan kreditor secara timbal balik dilakukan
perhitungan. Dengan perhitungan itu utang piutang lama lenyap.
5.
Pencampuran Utang
Menurut ketentuan Pasal 1436 KUH
Perdata, Pencampuran utang itu terjadi apabila kedudukan kreditor dan debitor
itu menjadi satu tangan. Pencampuran utang tersebut terjadi demi hukum. Pada
pencampuran hutang ini utang piutang menjadi lenyap.
6.
Pembebasan Utang
Pembebasan utang dapat terjadi
apabila kreditor dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari
debitor dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perikatan dengan
pembebasan ini perikatan menjadi lenyap atau hapus.
7.
Musnahnya benda yang terutang
Menurut ketentuan pasal 1444 KUH
Perdata, apabila benda tertentu yang menjadi objek perikatan itu musnah, tidak
dapat lagi diperdangkan, atau hilang bukan karena kesalahan debitor, dan
sebelum dia lalai , menyerahkannya pada waktu yang telah ditentukan; perikatan
menjadi hapus (lenyap) akan tetapi, bagi mereka yang memperoleh benda itu
secara tidak sah, misalnya, kerena pencurian, maka musnah atau hilangnya benda
itu tidak membebaskan debitor (orang yang mencuri itu) untuk mengganti
harganya.
Meskipun debitor lalai menyerahkna
benda itu dia juga akan bebas dari perikatan itu apabila dapat membuktikan
bahwa musnah atau hilangnya benda itu disebabkan oleh suatu keadaan di luar
kekuasaannya dan benda itu juga akan mengalami peristiwa yang sama measkipun
sudah berada di tangn kreditor.
8.
Karena pembatalan
Menurut ketentuan pasala 1320 KUH
Perdata, apabila suatu perikatan tidak memenuhi syarat-syarat subjektif.
Artinya, salah satu pihak belum dewasa atau tidak wenang melakukan perbuatan
hukum, maka perikatan itu tidak batal, tetapi “dapat dibatalkan” (vernietigbaar, voidable).
9.
Berlaku Syarat Batal
Syarat batal yang dimaksud disini
adalah ketentuan isis perikatan yang disetujui oleh kedua pihak, syarat
tersebut apabila dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal (nietig, void) sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut “syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dibuat. Perikatan yang batal
dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perkatan.
10. Lampau Waktu (Daluarsa)
Menurut ketentuan pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah alat untuk memperolah sesuatu atau untuk dibebaskan
dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan syarat-syarat
yang ditentukan oleh Undang-undang.
2.2. Perjanjian
2.2.1 Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah suatu persetujuan
antara seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih
(pasal 1313 BW).
Agar
suatu Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian
harus
memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 BW
yaitu
:
1. Kesepakat
mereka yang mengikatkan dirinya Kata “sepakat” tidak boleh
disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok
persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang
dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut adanya paksaan dimana
seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 BW); adanya
penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat
(Pasal 1328 BW). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan
alasan-alasan tersebut dapat diajukan pembatalan.
2. cakap untuk membuat perikatan;
Para pihak mampu membuat suatu
perjanjian. Kata mampu dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dewasa,
tidak dibawah pengawasan karena prerilaku yang tidak stabil dan bukan
orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis
objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Pasal 1332 BW menentukan hanya barang- barang yang dapat diperdagangkan yang
dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang
yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika
dilarang oleh undang-undang secara tegas.
4. Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan
ditentukan pada saat perjanjian dibuat Perjanjian tanpa causa yang halal adalah
batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Kesepakatan dan kecakapan meruapakan syarat subjektif yang
apabila salah satunya tidak dipenuhi dalam suatu perjanjian maka perjanjian
dapat dibatalkan. Selain itu adanya hal tertentu atau sebab yang halal sebagai
syarat objektif apabila tidak ada dalam suatu perjanjian, maka perjanjian batal
demi hukum, artinya dianggap tidak pernah ada perjanjian.
2.2.2 Macam-Macam Perjanjian
Perjanjian merupakan salah satu
sumber pokok yang lebih banyak diatur dalam BW dibandingkan dengan perikatan
yang lahir karena undang-undang. Jenis perjanjian tertenu (perjanjian khusus)
yang diatur dalam buku III BW yaitu sebagai berikut:
1. Perjanjian jual beli
Jual beli adalah suatu persetujuan
antara dua pihak, dimana pihak yang satu berjanji akan menyerahkan suatu barang
dan pihak yang lain akan membayar harga yang telah disetujuinya. Syrarat-syarat
jual beli ialah:
a. Harus ada mata uang dan barang.
b. Barang yang dijual adalah milik
sendiri
c. Jual-beli itu bukan antara
suami-istri yang masih dalam perkawinan.
2. Perjanjian tukar-menukar ( pasal
1541 BW)
Sama dengan perjanjian jual-beli
tetapi bedanya pada tukar-menukar kedua belah pihak wajib saling untuk
menyerahkan barang sedangkan pada jual beli pihak yang satu wajib menyerahkan
barang dan pihak yang lain menyerahkan uang.
3. Perjanjian sewa-menyewa ( pasal 1548
BW)
Ialah suatu perjanjian dimana pihak
pertama memberi izin dalam waktu tertentu kepada pihak lain untuk menggunakan
barangnya dengan kewajiban dari si penyewa untuk membayar sejumlah uang
sewanya.
4. Perjanjian kerja atau perburuhan
(pasal 1601 BW)
Adalah suatu perjanjian dimana pihak
pertama akan memberikan tenaganya untuk melakukan sesuatu pekerjaan bagi pihak
lain dengan menerima upah yang telah ditentukan.
5. Perserikatan atau perseroan perdata
( pasal 1618 BW)
Adalah suatu perjanjian antara dua
orang atau lebih yang mengikatkan dirinya masing-masing untuk mengumpulkan
sesuatu dengan maksud embagi keuntungan yang diperoleh daripadanya.
6. Perjanjian penitipan barang ( pasal
1694 BW)
Adalah suatu perjanjian dimana pihak
pertama menyerahkan suatu barang untuk dititipkan dan pihak lain berkewajiban
menyimpan barang tersebut dan mengembalikan pada waktunya dalam keadaan semula.
7. Pinjam pakai ( pasal 1740 BW)
Ialah perjanjian dimana pihak
pertama memberikan sesuatu benda untuk dipakai sedangkan pihak lain
berkewajiban mengembalikan barang tersebut tepat pada waktunya dengan keadaan
semula.
8. Pinjam pakai sampai habis ( pasal
1754 BW)
Adalah suatu perjanjian dimana pihak
pertama menyerahkan sejumlah barang yang habis dipakai kepada pihak lain dengan
ketentuan pihak terakhir ini akan mengembalikannya sebanyak jumlah yang sama
jenisnya dengan barang-barang yang telah dipinjam.
9. Perjanjian untung-untungan ( pasal
1774-1791 BW)
Adalah suatu perjanjian yang
hasilnya adalah mengenai untung rugi baik bagi semua pihak maupun bagi
sementara pihak tergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu terjadi.
10. Pemberian kuasa ( pasal 1792 BW)
Perjanjian dimana seorang memberikan
sesuatu guna kepentingan dan atas nama si pemberi kuasa. Pemberian kuasa
dibedakan atas dua yaitu, perwakilan langsung dan perwakilan tidak langsung.
11. Pertanggungan orang ( pasal 1820 BW)
Suatu perjanjian dimana sesorang
wajib memenuhi perikatan seorang debitur kepada kreditornya apabila debitur
tadi tidak memenuhi kewajibanya.
12. Perdamaian perkara (pasal 1851 BW)
Suatu perjanjian dimana pihak-pihak
akan menyelesaikan secara damai perkara-perkara tentang penyerahan, janji, atau
pengembalian sesuatu barang yang menjadi persengketaan.
2.2.3 Pengertian Standar Kontrak Dan
Pengertian Prestasi Dan Weprestasi Dalam Kontrak
A. Pengertian
kontrak
Menurut
Mariam Darus, standar kontrak terbagi 2 yaitu umum dan khusus.
1.
Kontrak
standar umum artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh
kreditur dan disodorkan kepada debitur.
2.
Kontrak
standar khusus, artinya kontrak standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya
dan berlakunya untuk para pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Menurut Remi Syahdeini,
keabsahan berlakunya kontrak baru tidak perlu lagi dipersoalkan karena kontrak
baru eksistensinya sudah merupakan kenyataan. Kontrak baru lahir dari kebutuhan
masyarakat. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung dengan kontrak baru yang masih
dipersoalkan. Suatu kontrak harus berisi:
1.
Nama
dan tanda tangan pihak-pihak yang membuat kontrak.
2.
Subjek
dan jangka waktu kontrak
3.
Lingkup
kontrak
4.
Dasar-dasar
pelaksanaan kontrak
5.
Kewajiban
dan tanggung jawab
6.
Pembatalan
kontrak
B. Pengertian Prestasi Dan Weprestasi
Dalam Kontrak
Pengertian prestasi (performance) dalam hukum kontrak
dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal
yang tertulis dalam suatu kontrak oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk
itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition” sebagaimana disebutkan
dalam kontrak yang bersangkutan. Model-model dari prestasi (Pasal 1234 KUH
Perdata), yaitu berupa memberikan sesuatu, tidak memberikan sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu.
Pengertian wanprestasi
(breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu
seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan. Tindakan wanprestasi
membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut
pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga oleh
hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena
wanprestasi tersebut. Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena
Kesengajaan, Kelalaian, Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian). Kecuali
tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-alasan force majeure, yang
umumnya memang membebaskan pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara
atau selama-lamanya).
2.2.4
Proses Pembatalan Perjanjian.
Pembatalan Perjanjian Suatu perjanjian dapat
dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi
hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi
karena;
1.
Adanya
suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu
yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2.
Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak
kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi
kewajibannya.
3.
Terkait
resolusi atau perintah pengadilan
4.
Terlibat
hukum
5.
Tidak
lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Hukum
perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di
Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang dan sumber dari undang-undang
dapat dibagi lagi menjadi undang-undang dan perbuatan manusia. Prestasi
adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan.
Prestasi adalah objek perikatan. Dalam hukum perdata kewajiban memenuhi
prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor. Dalam Pasal 1131 dan
1132 KUHPdt dinyatakan bahwa harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan
pemenuhan utangnya terhadap kreditor. Wanprestasi artinya tidak memenuhi
kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak dipenuhinya kewajiban
oleh debitor karena dua kemungkinan alasan Keadaan memaksa (force majeure) adalah keadaan tidak
dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat
diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Dalam
keadaan memaksa ebitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar
kemauan dan kemampuan debitor. Ganti kerugian hanya berupa uang
bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Untuk melindungi debitor dari
tuntutan sewenang-wenang dari pihak kreditor, Undang-Undang memberikan
pembatasan terhadap ganti kerugian yang wajib dibayar oleh debitor sebagai
akibat dari kelalainnya (wanprestasi) Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis) adalah perikatan yang digantungkan pada
syarat. Syarat itu adalah suatu peristiwa yang masih akan terjadi dan belum
pasti terjadi, baik dalam menangguhkan pelaksanaan perikatan hingga terjadi
peristiwa maupun dengan membatalkan perikatan karena terjadi atau tidak terjadi
peristiwa (Pasal 1253 KUHP dt). Menurut Ketentuan pasal 1381 KUH Perdata, ada
sepuluh cara hapusnya perikatan. Yaitu : pembayaran, penawaran, pembayaran
tunai diikuti penitipan, pembayaran utang, perjumpaan utang, pencampuran utang,
pembebasan utang, musnahnya benda yang terutang, karena pembatalan, berlaku
syarat batal dan lampau batas.
3.2
Saran
Semoga makalah ini dapat berguna
bagi pembaca agar kita dapat mengetahui makna dari hukum perikatan dan
perjanjian juga bagi penulis makalah selanjutnyan dengan judul yang sama semoga
menjadi lebih baik.
0 komentar:
Post a Comment