Ilmu Kewarganegaraan Komunitarian
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberi rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga kami mampu dan dapat
menyelesaikan makalah yang kami beri tema “Teori Kewarganegaraan Komunitarian”.
Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kewarganegaraan.
Kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Lodovikus Bomans Wadu, M.Pd.,
selaku dosen mata kuliah Ilmu Kewarganegaraan, yang telah membimbing kami dan telah
banyak memberikan saran dan motifasi kepada kami. Dan tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman
kelompok kami yang telah membantu membuat makalah ini sehingga tugas makalah
ini bisa kami selesaikan dengan baik.
Kami telah berusaha semaksimal
mungkin untuk menyelesaikan makalah ini. Walaupun demikian bukan tidak mungkin
ada terdapat kesalahan penulisan dalam mengerjakan makalah ini. Untuk itu kami
mengharapkan masukan dan kritikan yang bersifat membangun dari teman-teman atau
pembaca sekalian , sehingga dapat menjadi masukan bagi kami dalam penulisan
yang akan datang. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.
Malang, 24 Oktober 2016
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR
……………………………………………………….. i
DAFTAR ISI
………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar
belakang …………………………………………………… 1
1.2.
Rumusan
masalah ……………………………………………….. 1
1.3.
Tujuan
penulisan ………………………………………………… 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1.
Macam-macam
teori kewarganegaraan
…………………………. 3
2.2. Definisi Teori Kewarganegaraan Komunitarian
………………… 6
2.3. Dasar
Kewarganegaraan Komunitarian ……………………......... 7
2.4. Politik Komunitarianisme dalam Kewarganegaraan
Komunitarian 9
2.5. Hubungan
teori kewarganegaraan liberal dan teori
kewarganegaraan komunitarian …………………………………. 11
BAB III PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
……………………………………………………… 15
3.2. Saran ……………………………………………………………. 15
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………………………….. 16
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Gerard Delanty mengemukakan
bahwa komunitarianisme menekankan pada peranan komunitas dalam mendefinisikan
dan membentuk individu. Kemunculan teori ini berlandaskan pandangan bahwa identitas
dan karakter pribadi tidak mungkin terbentuk tanpa lingkungan masyarakat.
Delanty juga mengemukakan komunitarianisme memiliki tiga tipe utama:
komunitarianisme liberal (liberal communitarianism), komunitarianisme
konservatif (conservative communitarianism) dan komunitarianisme sipil (civic
communitarianism). Meskipun ada perbedaan dalam setiap tipe, namun secara
umum Delanty mengemukakan bahwa komunitarian sangat menekankan pada fakta bahwa
setiap orang perlu mengetahui sejarah perkembangan masyarakat. Selain itu, di
dalam masyarakat ada code of conduct yang harus dipatuhi
anggota karena dengan cara inilah eksistensi dan keberlangsungan masyarakat
atau kehidupan suatu komunitas dapat terjamin.
Komunitarianisme juga
percaya bahwa komunitas dibutuhkan untuk menyeimbangkan kekuatan sentripetal
dan sentrifugal yang terkandung didalam masyarakat. Kekuatan sentrifugal
seperti individualisasi, ekspresi pribadi dan kebebasan kelompok dapat merusak
kohesi sosial dan secara ekstrem dapat menghasilkan anarki sosial. Kekuatan
sentripetal seperti pelayanan nasional, hukum, mobilisasi ikatan sosial dan
pengaturan konsep-konsep normatif mungkin akan menjadi kebersamaan yang
berlebihan. Oleh karena itu, komunitas perlu memelihara kekuatan-kekuatan ini
secara seimbang agar tidak terjatuh ke dalam anarki sosial atau kolektivisme
1.2 Rumusan
Masalah
1. Berapa macam teori kewarganegaraan?
2. Apakah definisi dari Kewarganegaraan Komunitarian?
3. Apakah dasar dari adanya Kewarganegaraan Komunitarian
tersebut?
4. Bagaimana Politik Komunitarianisme dalam
Kewarganegaraan Komunitarian?
5. Bagaimanakah hubungan teori kewarganegaraan liberal
dan teori kewarganegaraan komunitarian?
1.3 Tujuan
Penulisan
1. Agar kita mengetahui berbagai macam teori
kewarganegaraan
2. Agar kita mengetahui apa Pengertian dari
Kewarganegaraan Komunitarian.
3. Agar kita mengetahui dasar dari adanya Kewarganegaraan
Komunitarian.
4. Agar Kita Mengetahui Bagaimana Politik
Komunitarianisme dalam Kewarganegaraan Komunitarian.
5. Untuk memahami hubungan teori kewarganegaraan liberal
dan teori kewarganegaraan komunitarian.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Macam-macam teori kewarganegaraan
1. Teori Kewarganegaraan Liberal (Liberalism)
Teori Liberal muncul pada abad 17
dan 18 serta berkembang pesat pada abad 19 dan 20. Teori
ini tentang kewarganegaraan dimulai dari pandangan yang bersifat
individualistis. Teori ini bersumber dari ideologi individualisme yang
berpaham kebebasan individu terutama bebas dari campur tangan negara dan
masyarakat.
Teori ini berpendapat bahwa warga negara
sebagai pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak.
Berdasarkan pandangan teori ini yang memandang warga negara secara individual dan
hanya memaksimalkan keuntungan yang dimilikinya. Perspektif ini
bercirikan penekanan pada individu, dan kapasitas individu untuk
mengubah identitas kelompok atau kolektif, untuk menghancurkan belenggu identitas pasti (status sosial, hirarkis, peran tradisional),
untuk menentukan ulang tujuan seseorang. Teori kewarganegaraan
liberal menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak.
Peter H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002)
menyatakan bahwa pengaruh besar dari teori ini diawali
oleh penjelasan secara sistematis melalui John locke dan J
S Mill. Menurut Locke individu dianugerahi dan dihiasi oleh
Tuhan dengan hukum alam dan berupa hak-hak alamiah. Individu
sebelumnya hidup dalam alam alamiah, kemudian masuk dalam
kehidupan masyarakat politik.
Teori Locke tentang kepemilikian (Locke’s theory
of property) menyebutkan ada tiga elemen sentral bagi kewarganegaraan
liberal. Pertama, individu dapat menciptakan kekayaaan atau kepemilikan dan
menambah dominasi kepemilikan itu melalui kerja.Kedua,
perlindungan terhadap kepemilikan merupakan fungsi utama hukum dan
pemerintahan; dan Ketiga, pelaksanaan yang sah menurut hukum atas
hak-hak kepemilikan secara alamiah mengasilkan ketidakmerataan yang adil. JS
Mill berpendapat bahwa individualitas dan kepentingan diri
merupakan sumber bagi kemajuan dan kebaikan sosial.
Menurut Peter H Suchuk
ada 5 Prinsip Dasar Teori Liberal Klasik. Pertama,
mengutamakan kebebasan individu yang dipahami sebagai kebebasan dari campur tangan Negara. Kedua,
proteksi yang luas terhadap kebebasan berpikir, berbicara dan beribadah. Ketiga,
kecurigaan terhadap kekuasaan negara dalam mengatasi individu. Keempat, pembatasan kekuasaan negara pada bidang atau
aktivitas individu dalam berhubungan dengan yang lain.Kelima, anggapan
yang kuat dapat dibantah mengenai kebaikan hati dalam hal masalah pribadi seta bentuk
lain yang mendukung pribadi.
Sedangkan salah satu teori liberal modern,
adalah yang dikemukakan oleh TH Marshall dalam bukunya Citizenship and
Social Class (1950), menurutnya kewarganegaraan diartikan sebagai status yang dianugerahkan bagi mereka sebagai anggota komunitas yang mencakup hak sipil, hak politik, dan hak
sosial. Jadi kewarganegaraan di dasarkan atas elemen hak dan berdasar ini terdapat bentuk kewarganegaraan sipil, kewarganegaraan politikdan kewarganegaraan sosial.
Kewarganegaraan social muncul di abad 19,
missal mendapat kesejahteraan dan keamanan. Hak sosial menjadi
unsur yang penting untuk menggerakan hak sipil dan politik bagi
mereka yang dimarjinalkan dan dalam situasi yang tidak beruntung Menurut dia hak merupakan hal yang penting dan ketiadaan
hak menjadikan warganegara tidak dapat berperan
aktif secara efektif. Baginya kewarganegaraan (hak) dapat memperbaiki
konflik dalam kelas di masyarakat.
2. Teori Kewarganegaraan Komunitarian (Communitarianism)
Teori ini sangat menekankan pada fakta bahwa setiap
warganegara perlu memiliki sejarah perkembangan masyarakat. Individualitas yang
dimiliki warganegara berasal dan dibatasi oleh masyarakat (Supriya, 2007). Hal
itu berdasar keyakinan teori ini bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Prespektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas
diantaranya orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yangsama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan
teratomisasi oleh kecenderungan yang mengakar pada masyarakat
liberal. Komunitarian menekankan pada kebutuhan untuk
menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan
komunitas sebagai kesatuan dan bahwa individu terbentuk dari budaya-budaya
dan nilai-nilai komunitas. Pada abad 20 muncul
teori kewarganegaraan komunitarian sebagai reaksi dari teori
kewarganegaraan liberal, kalau teori kewarganegaraan liberal yang
berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan bebas
individu, sedangkan teori ini berpendapat justru
masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya,
nilai keyakinan- keyakinannya.
Komunitarianisme menekankan
pentingnya komunitas dan nilai sosial bersama.
Pokok-pokok ajaran komunitarianisme antara lain,
adalah sebagai berikut:
-
Komunitas adalah
arbiter (yang berkewajiban) dalam kehidupan bersama;
-
Nilai-nilai
sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama;
-
Nilai-nilai
sosial tersebut pada gilirannya merupakan croos societal moral
dialoge.
Dalam masyarakat perlu
pembentukan konsensus bersama dan nilai-nilai
moral merupakan dasar pertimbangan bagi pembentukan
nilai sosial bersama sebagai konsensus. Tanpa nilai-nilai sosial dan
konsensus, kehidupan bersama akan hancur. Keputusan atas
nilai-nilai yang disepakati menjadi milik bersama dan
secara sukarela merupakan sustu keteraturan sosial. Konsensus ini bisa terjadi
di tingkat lokal (kelompok), national (nation) maupun
kemungkinan berlaku pada masyarakat global.
3. Teori Kewarganegaraan Republikan (Republicanisme)
Teori ini berpendapat
bahwa masyarakat sebagai komunitas politik adalah
pusat kehidupan politik. Kewarganegaraan republican
menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic bonds)
suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan
individual (tradisi liberal) ataupun ikatan
kelompok (tradisi komunitarian). Sementara kewarganegaraan liberal lebih
menekankan pada hak (right), sedangkan kewarganegaraan republikan
menekankan pada kewajiban (duty) warganegara.
Kewarganegaraan Republikan
merupakan bentuk kewarganegaraan yang paling tua
dari pada komunitarian, yang menyatakan pentingnya
partsipasi warga dalam pengambilan keputusan di wilayah republik,
bukan hanya sebagai hak dan kewajiban tetapi sebagai esensi dari adanya ikatan sipil. Ia menempatkan tanggung jawab social pada masyarakat dari pada negara, percaya bahwa tradisi budaya bukan Negara yang dapat menguatkan civil society.
Dalam tradisi Yunani dan Romawi, masyarakat adalah
negara itu sendiri sebagai lembaga publik.
Warganegara akan mempunyai arti jika
mereka terdiri dalam kehidupan publik atau kehidupan bernegara.
Teori kewarganegaraan republikan
baik yang klasik maupun yang humanis merupakan
paham pemikiran kewarganegaraan yang
berpendapat, bahwa bentuk ideal dari suatu
negara didasarkan atas dua dukungan, yakni civic
virtue wargannya dan pemerintahan yang republic karena ini
merupakan hak yang esensial, sehingga disebut civic republic.
Jadi kewarganegaraan ini menekankan pentingnya
kewajiban (duty), tanggung jawab (responsibility) dan
civic virtue (keutamaan kewarganegaraan) dari
warganegaranya. Civic virtue dalam republik
Romawi berarti kesediaan mendahulukan kepentingan publik.
Warganegara yang baik menurut Republik
Klasik Teori JJ Rousseau adalah yang mendahulukan kepentingan umum,
jika ada warganegara yang mendahulukan kepentingan pribadinya di
atas kepentingan umum (publik) berarti dia melakukan korupsi.
Kepentingan umum (publik) itu di formulasikan melalui apa
yang yang dinamakan general will/volonte generale (kehendak umum). Negara
yang ideal adalah negara yang warganya tidak mementingkan dirinya
sendiri, negara yang diatur oleh general will/volonte generale. Di dalam
kewarganegaraan repunlikan memiliki karakteristik etis demikian juga status
legal/hukum.
Warganegara dalam suatu
republik tidak hanya dilindungi oleh hukum,
tetapi juga tunduk pada hukum. Kewarganegaraan
mempunyai dimensi etis yang dimunculkan dalam dua cara. Pertama,
bahwa warganegara yang baik adalah yang memiliki semangat publik ( public
spirit) yaitu menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi. Kedua, komitmen pada masalah
publik yang dimanivestasikan sebagai suatu komitmen
keterlibatan sipil.
Warganegara yang baik akan
mengambil tanggungjawab public ketikamuncultanpaharusmenungguyang lainnya, bahkan ia akan
mengambil bagian yang aktif di dalam masalah publik. Warga negara republican dapat mengambil bagian dengan berbagai bentuk dalam masalah
publik maupun untuk kepentingan umum.
Secara nyata dapat melalui pengorbanan/loyalitas warga negara, misalnya ikut serta dalam pembelaan negara (perang), membayar pajak
serta mentaati hukum yang berlaku.
2.2.
Definisi Teori Kewarganegaraan Komunitarian
Komunitarian adalah Teori Kewarganegaraan yang
Menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara
orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok
tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi”
oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal.
Ciri-ciri Utama Teori Kewarganegaraan ini adalah
Individu dibentuk oleh masyarakat, karena di masyarakat terdapat sistem norma
yang disepakati sebagai rule of conduct., Tindakan individu
harus sesuai dengan batas-batas yang diterima masyarakat., Identitas dan
stabilitas individu Warga Negara akan terbentuk dengan baik ketika didukung
oleh masyarakat., Masyarakat merupakan hal sangat vital bagi adanya
kewarganegaraan (tiada kewarganegaraan tanpa masyarakat).
Teori ini sangat menekankan pada fakta bahwa setiap
warga negara perlu memiliki sejarah perkembangan masyarakat. Individualitas
yang dimiliki warga negara berasal dan dibatasi oleh masyarakat. Hal itu
berdasar keyakinan teori ini bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Prespektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantaranya
orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan
teratomisasi oleh kecenderungan yang mengakar pada masyarakat
liberal. Komunitarian menekankan pada kebutuhan untuk
menyeimbangkan hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan
komunitas sebagai kesatuan dan bahwa individu terbentuk dari
budaya-budaya dan nilai-nilai komunitas. Pada abad 20
muncul teori kewarganegaraan komunitarian sebagai reaksi dari
teori kewarganegaraan liberal, kalau teori kewarganegaraan liberal yang
berpendapat bahwa masyaraka terbentuk
dari pilihan-pilihan bebas individu, sedangkan teori
ini berpendapat justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk
individu baik karakternya, nilai keyakinan- keyakinannya.
Komunitarianisme menekankan
pentingnya komunitas dan nilai sosial bersama.
Pokok-pokok ajaran komunitarianisme antara lain,
adalah sebagai berikut:
-
Komunitas adalah
arbiter (yang berkewajiban) dalam kehidupan bersama;
-
Nilai-nilai
sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama;
-
Nilai-nilai
sosial tersebut pada gilirannya merupakan croos societal moral
dialoge.
Dalam masyarakat perlu pembentukan
konsensus bersama dan nilai-nilai moral merupakan dasar
pertimbangan bagi pembentukan nilai sosial bersama sebagai
konsensus. Tanpa nilai-nilai sosial dan konsensus, kehidupan bersama akan
hancur. Keputusan atas nilai-nilai yang disepakati menjadi milik
bersama dan secara sukarela merupakan sustu keteraturan sosial. Konsensus ini
bisa terjadi di tingkat lokal (kelompok), national (nation)
maupun kemungkinan berlaku pada masyarakat global.
2.3. Dasar
Kewarganegaraan Komunitarian
Kaum komunitarian menolak negara
netral. Mereka percaya bahwa negara
netral seharusnya ditinggalkan demi politik kebaikan bersama (the politics
of common good). Pembedaan antara politik netralitas dan
politik kebaikan bersama dari komunitarianisme ini dapat menyesatkan. Ada
kebaikan bersama yang juga nampak dalam politik liberal, karena berbagai
kebijaksanaan negara liberal ditujukan untuk mempromosikan
kepentingan-kepentingan berbagai anggota masyarakat. Proses-proses politik dan ekonomi yang dengan ini
berbagai preferensi individu dipadukan dalam sebuah fungsi pilihan sosial
merupakan cara kaum liberal menentukan kebaikan bersama. Karena itu, menegaskan
netralitas negara bukanlah menolak gagasan tentang kebaikan bersama, melainkan
memberikan sebuah interpretasi mengenainya. Dalam sebuah masyarakat liberal, kebaikan
bersama merupakan hasil dari sebuah proses memadukan berbagai preferensi, yang
semuanya dihitung secara sama (jika konsisten dengan prinsip-prinsip keadilan).
Semua preferensi memiliki bobot pengaruh yang sama bukan dalam arti bahwa
terdapat sebuah ukuran yang disepakati publik atas nilai intrinsik yang membuat
semua konsepsi ini menjadi sama, melainkan dalam arti bahwa berbagai preferensi
itu sama sekali tidak dievaluasi dari sudut pandang publik. Seperti yang sudah
kita saksikan, penegasan anti-perfeksionis pada netralitas negara ini
mencerminkan kepercayaan bahwa kepentingan orang dalam membawakan sebuah
kehidupan yang baik tidak meningkat ketika masyarakat melakukan diskriminasi
terhadap proyek-proyek yang mereka percayai sebagai paling berharga bagi
mereka. Maka, kebaikan bersama dalam sebuah masyarakat liberal diatur agar
sesuai dengan pola berbagai preferensi dan konsepsi tentang kebaikan yang
dipegang oleh individu.
Akan tetapi, dalam sebuah
masyarakat komunitarian, kebaikan bersama diterima sebagai sebuah konsepsi
mendasar tentang kehidupan yang baik yang menentukan pandangan hidup komunitas.
Kebaikan bersama ini, alih-alih menyesuaikan dirinya sendiri pada pola
preferensi orang, menyediakan ukuran untuk mengevaluasi berbagai preferensi
itu. Pandangan hidup masyarakat membentuk dasar bagi tata jenjang (rangking)
publik mengenai berbagai konsepsi tentang yang baik, dan bobot yang diberikan
pada preferensi individu bergantung pada seberapa besar ia menyesuikan dengan
dan memberikan sumbangan pada kebaikan bersama ini. Pencarian publik akan
tujuan-tujuan yang dirasakan bersama yang menentukan pandangan hidup
komunitas, karena itu, tidak terhambat oleh persyaratan netralitas. Ia berada
mendahului klaim individu-individu terhadap sumberdaya dan kebebasan diperlukan
untuk mengejar konsepsi-konsepsi mereka sendiri akan kebaikan. Sebuah negara
komunitarian dapat dan seharusnya mendorong orang untuk menerima
konsepsi-konsepsi tentang kebaikan yang sesuai dengan pandangan hidup
masyarakat, sementara mencegah berbagai konsepsi tentang kebaikan yang
bertentangan dengan pandangan hidup komunitas ini. Sebuah negara komunitarian,
karena itu, merupakan negara perfeksionis, karena melibatkan penjenjangan nilai
publik dari berbagai pandangan hidup yang berbeda. Namun,
walaupun erfeksionis Marxis merangking pandangan hidup menurut
penilaian trans-historis atas kebaikan manusia, komunitarianism merangking
pandangan hidup itu menurut kesesuaiannya dengan praktek-praktek yang ada.
Mengapa kita harus menyukai
politik kebaikan bersama ini di atas netralitas liberal? Kaum liberal
mengatakan bahwa netralitas negara diperlukan untuk menghormati orang
menentukan dirinya sendiri. Akan tetapi, kaum komunitarian menolak gagasan
liberal tentang penentuan-diri sendiri, dan juga hubungan yang disangka ada
antara penentuan-diri sendiri dan netralitas.
2.4. Politik
Komunitarianisme dalam Kewarganegaraan Komunitarian
Teori politik kebaikan bersama
kaum komunitarian melahirkan sejumlah kepedulian praktis yang penting. Walaupun
teori liberal mungkin mengakui ketergantungan pilihan individu pada konteks
kebudayaan, kaum liberal dalam praktek telah memusatkan kepedulian mereka pada
kemerdekaan individu memilih yang menyebabkan diabaikannya akses orang pada
kebudayaan. Organisasi
liberal, seperti Serikat Kebebasan Sipil Amerika (The American Civil
Liberties Union), telah disibukkan dengan ancaman terhadap hak kebebasan
berbicara, seperti pembatasan pada literatur yang menebarkan kebencian atau
material cabul. Tetapi tentunya kenyataan bahwa 10% orang usia dewasa secara
fungsional tidak bisa baca tulis merupakan ancaman yang lebih serius terhadap
partisipasi orang yang tidak terkekang dalam ruang pasar kebudayaan daripada
pembatasann pada kecabulan. Dan kenyataan bahwa pemilikan media sedemikian terkonsentrasi
sehingga sejumlah pandangan menjadi diam secara sistematis merupakan ancaman
yang lebih serius pada pertukaran informasi secara bebas daripada pada
literatur yang menebarkan kebencian. Kaum liberal seringkali bekerja dengan
prioritas yang membingungkan dalam wilayah kebudayaan.
Mengingat kegagalan memastikan bahwa setiap orang
memiliki akses yang bermakna kepada pencapaian kebudayaan dan deliberasi
kolektif dari komunitas ini, keinginan komunitarian untuk menciptakan sebuah
bahasa dan praktek tentang politik kebaikan bersama dapat dipahami. Sayangnya, bahasa dan praktek
semacam itu paling-paling tidak relevan untuk demokrasi modern dan yang lebih
buruk lagi menjadi tidak toleran. Dalam kenyataannya, baik kaum liberal maupun
kaum komunitarian telah mengabaikan masalah yang sebenarnya yang terlibar dalam
penciptaan kondisi-kondisi kebudayaan untuk penentuan diri.
Pertimbangkan persoalan hasa.
Baik kaum komunitarian maupun kaum liberal bekerja, secara implisit ataupun
eksplisit, dengan anggapan bahwa semua negara adalah negara kebangsaan (nation-state) bahwa setiap orang dalam negaranya masing-masing
memiliki nasionalitas yang sama, dan dengan demikian juga bahasa yang sama, dan
dapat berperan serta dalam perdebatan yang bermakna mengenai kebudayaan. Tetapi
kebanyakan negara adalah negara multi-kebangsaan, terdiri dari dua atau lebih
komunitas bahasa. Di Kanada, misalnya, ada Perancis dan Ingris, dann juga
bahasa asli yang dipertahankan oleh komunitas Indian dan Inuit. Haruskah
kita mencoba menciptakan keseragaman bahasa atas nama persamaan liberal atau
kebaikan bersama komunitarian? Sebagian kaum liberal dan komunitarian telah
menganggap bahwa inilah tujuannya dan karena mempertahankan program-program
untuk mengasimilasikan bahasa minoritas. Tetapi yang lain telah menentang
asimilasi sebagai jelas tidak fair (mengapa orang Perancis atau orang
asli Indian harus berasimilasi dengan bahasa Inggris, terutama jika
kenyataannya mereka telah ada terlebih dahulu di Kanada sebelum Inggris. Tetapi
jika kita mengijinkan kebudayaan minoritas tetap ada, hak-hak apa yang
sebenarnya mereka miliki dalam hubungannya dengan bahasa? Baik orang Perancis
maupun orang asli Indian di Kanada memiliki hak-hak hukum yang khusus dirancang
untuk melinding kebudayaan mereka yang berbeda misalnya, hak atas pendudukan publik dalam bahasa
mereka sendiri, dan hak untuk menggunakan bahasa mereka dalam berhubungan
dengan pemerintah dan pengadilan. Lebih dari itu, mereka memiliki kekuatan
untuk memaksakan pembatasan pada hak-hak bahasa dari yang bukan Perancis atau
bukan penduduk asli yang berpindah ke tanah kelahiran mereka. Hak-hak khusus
dan/atau institusi yang terpisah juga terdapat bagi kelompok bahasa minoritas
di Amerika Serikat (misalnya, penduduk Puerto Rico atau India Amerika), untuk
populasi penduduk asli Australia dan Selandia Baru, dan untuk kelompok bahasa
minoritas di Belgia, Swiss dan banyak di negara-negara dunia Kedua dan Ketiga.
Di semua negara ini, pertanyaan
tentang bahasa siapa yang dipergunakan oleh negara di sekolah, pengadilan, dan
birokrasi merupakan pertanyaan yang penting dan bersifat memecah belah. Tentu,
pertanyaan ini telah menjadi sumber utama konflik dalam banyak negara ini.
Namun, sia-sia mencari diantara kaum liberal dan komunitarian kontemporer
menemukan diskusi tunggal tentang pertanyaan ini. Mereka memperdebatkan apa
peran yang harus dimainkan negara dalam mempromosikan kebudayaannya dan
memperkaya bahasanya, tetapi mereka tidak pernah mempertanyakan
kebudayaan siapa dan bahasa yang mana. Mereka
memperdebatkan apakah sekolah harus mempromosikan konsepsi khusus dari
kebaikan, tetapi mereka tidak mempertanyakan apa bahasa yang seharusnya
dipergunakan sekolah itu. Jika mereka mulai mempertanyakan pertanyaan dasar
ini, sebagian besar dari apa yang sudah berjalan bagi kearifan yang diterima
sehubungan dengan hubungan antara negara dan kebudayaan akan segera usang.
Sebenarnya, saya telah mengatakan di tempat lain bahwa banyak dari kearifan
yang diterima sehubungan dengan makna hak-hak yang sama dan anti-diskriminasi
harus juga diabaikan dalam negara-negara multi-nasional. Kenyataannya adalah
bahwa kita tidak mengetahui apa yang diperlukan dalam negara-negara-multi
nasional baik dalam netralitas liberal maupun kebaikan bersama komunitarian.
Ini boleh jadi merupakan contoh paling jelas tentang bagaimana penekanan kaum
komunitarian akan tesis sosial telah terlepas dari setiap pengamatan aktual
tentang hubungan antara individu, kebudayaan dan negara.
2.5. Hubungan teori kewarganegaraan liberal dan teori
kewarganegaraan komunitarian
Demokrasi adalah cara atau seni pergaulan hidup untuk
mencapai kebaikan bersama. Banyak orang memahami bahwa prinsip dasar demokrasi
adalah kebebasan individu. Saya menolak pandangan ini. Prinsip dasar demokrasi,
dalam pandangan kami, adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika
demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak
mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi bisa diwujudkan
dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi prosedural antara lain terkait
dengan mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi
kepentingan masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya
atau tatakrama (fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam
arena masyarakat sipil. Ini tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka,
egalitarian, bertanggungjawab, mutual trust, kepedulian warga,
kompetensi politik, dan seterusnya.
Gagasan demokrasi seperti itu mungkin bisa diterima
secara universal. Akan tetapi pemikiran dan penerapan demokrasi prosedural
sangat beragam karena dipengaruhi oleh dua tradisi pemikiran: demokrasi liberal
vs demokrasi komunitarian. Menurut tradisi liberal, demokrasi prosedural diukur
dengan bekerjanya tiga nilai penting: kontestasi (kompetisi), liberalisasi dan
partisipasi. Seperti terlihat dalam tabel 1, ketiga elemen ini berbasis pada
individualisme dan semangat kebebasan individu. Secara prosedural kompetisi,
liberalisasi dan partisipasi dilembagakan dalam pemilihan dan lembaga
perwakilan. Setiap individu bebas berkompetisi memperebutkan jabatan-jabatan
publik baik eksekutif maupun lembaga perwakilan (legislatif) melalui proses
pemilihan. Setiap individu bebas berpartisipasi dalam pemilihan umum, atau
menggunakan hak suaranya secara bebas tanpa tekanan, ancaman atau mobilisasi.
Prinsip one man one vote sangat dipegang teguh oleh pandangan
liberal ini. Di sisi lain, untuk menjamin kebebasan kompetisi dan partisipasi,
sangat diperlukan liberalisasi, atau sebuah jaminan hukum atas penggunaan
hak-hak politik setiap individu. Artinya setiap orang harus bebas untuk
berbicara, berkumpul, berserikat, memperoleh informasi dari pers yang bebas dan
lain-lain. Proses pemilihan sebagai sebuah wadah kompetisi dan partisipasi
harus berjalan secara bebas dan fair, yang dalam konteks Indonesia
dikenal dengan asas luber dan jurdil.
Tabel 1
Dua tradisi
demokrasi
No
|
Item
|
Liberal
|
Komunitarian
|
1.
|
Sumber
|
Tradisi liberal ala Barat
|
Komunitarian ala masyarakat lokal
|
2.
|
Basis
|
Individualisme
|
Kolektivisme
|
3.
|
Semangat
|
Kebebasan individu
|
Kebersamaan secara kolektif
|
4.
|
Wadah
|
Lembaga perwakilan, partai politik dan pemilihan
umum
|
Komunitas, commune, rapat desa, rembug
desa, forum warga, asosiasi sosial, paguyuban, dll
|
5.
|
Metode
|
Voting secara kompetitif
|
Musyawarah
|
6.
|
Model
|
Demokrasi perwakilan
|
Demokrasi deliberatif
|
Demokrasi komunitarian lahir sebagai kritik atas
demokrasi liberal, karena demokrasi liberal ini dinilai menjadi hegemoni
universal yang melakukan penyeragaman praktek demokrasi prosedural di seluruh
dunia. Orang di manapun akan mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan
individu, pemilihan secara bebas, dan partisipasi. Jarang sekali orang yang
berargumen bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan secara
kolektif. Tradisi komunitarian, yang peka terhadap masalah ini, memaknai
demokrasi secara partikularistik dengan memperhatikan keragaman budaya,
Struktur sosial, system ekonomi dan sejarah setiap negara. Dua penganut demokrasi komunitarian, Barber (1983) danWalzer (1984), menyatakan bahwa individualisme liberal cenderung merusak kewarganegaraan dan menafikkan civic virtue. Artinya, semangat individualisme liberal itu tidak mampu memberikan landasan yang kokoh bagi kebebasan dan kesetaraan warga dalam bingkai demokrasi komunitas. Penganut komunitarian yakin bahwa rakyat selalu berada dalam ikatan komunal ketimbang individualistik, karena itu model demokrasi perwakilan cenderung menciptakan alienasi partisipasi public dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar publik. Kaum komunitarian memang menaruh perhatian pada otonomi individu seperti kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan kebebasan individu tetapi penghargaan pada otonomi individu serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif.
Gagasan demokrasi komunitarian sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang
kecil (semisal desa) karena kegagalan demokrasi prosedural-liberal mewadahi partisipasi publik. Demokrasi liberal secara konvensional mereduksi praktek demokrasi hanya dalam kerangka pemilihan pemimpin dan lembaga perwakilan, yang diyakini sebagai wadah partisipasi publik. Format demokrasi perwakilan yang di desa ini dilembagakan secara formal melalui peraturan, yang mau tidak mau menimbulkan apa yang disebutoleh Robert Michel sebagai oligarki elite. Segelintir elite yang mengendalikan pemerintahan dan pembuatan keputusan itu umumnya bersikap konservatif dan punya kepentingan sendiri yang tercerabut dari konstituennya, tetapi mereka selalu mengklaim mewakili rakyat banyak.
Karena itu, demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing
community, hendak mempromosikan partisipasi public dalam urusan publik, pemerintahan dan pembangunan di level komunitas. Melampaui batasan-batasan formal,
demokrasi komunitarian merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, pengaktifan peran kelompok-kelompok sosial, forum warga, serta jaringan antar kelompok, yang bukan saja untuk keperluan self-help kelompok,
tetapi juga sebagai wahana awareness warga, civic
engagement dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas. Elemen-elemen komunitarian yang dinamis inilah yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan (governance)
dan pembuatan keputusan berbasis komunitas (bukan segelintir elite) secara partisipatif serta memungkinkan penggalian potensi dan kreativitas individu dalam ikatan kolektif.
Model demokrasi deliberative merupakan bentuk ekstrem demokrasi prosedural yang dijiwai oleh tradisi komunitarian. Demokrasi deliberative berbeda dengan demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung dalam hal penentuan pemimpin dan mekanisme pembuatan keputusan. Menurut penganjur demokras ideliberatif, mekanisme penentuan pemimpin dan pembuatan keputusan dilakukan dengan cara partisipasi warga secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan, melainkan melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan. Model demokrasi seperti ini memungkinkan partisipasi secara luas dan menghindari terjadinya oligarki elite dalam pengambilan keputusan. Demokrasi deliberatif juga menghindari kompetisi individual memperebutkan posisi pemimpin dalam proses pemilihan (voting)
langsung, sehingga akan mengurangi juga praktek-praktek teror, kekerasan, money politics, KKN dan seterusnya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Teori Kewarganegaraan dibagi menjadi 3 yakni Teori
Kewarganegaraan Liberal yang berpandapat bahwa
warga negara sebagai pemegang otoritas untuk
menentukan pilihan dan hak. Teori Kewarganegaraan Komunitarian yang
menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara
orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok
tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi”
oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal. Teori
Kewarganegaraan Republik yang berpendapat bahwa
masyarakat sebagai komunitas politik adalah pusat
kehidupan politik.
Komunitarian adalah Teori
Kewarganegaraan yang Menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya,
solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama,
kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang
dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat
liberal.
Teori Komunitarian muncul berdasarkan
atas pendapat kaum komunitarian yang menolak adanya negara netral. Mereka percaya
bahwa negara netral seharusnya ditinggalkan demi politik kebaikan bersama.
Politik Komunitarianisme
dalam kewarganegaraan komunitarian telah melahirkan
sejumlah kepedulian praktis yang penting. Walaupun teori liberal mungkin
mengakui ketergantungan pilihan individu pada konteks kebudayaan, kaum liberal
dalam praktek telah memusatkan kepedulian mereka pada kemerdekaan individu
memilih yang menyebabkan diabaikannya akses orang pada kebudayaan.
Teori Kewarganegaraan
Komunitarian dan Teori Kewarganegaraan Liberal berjalan bersama dan saling
melengkapi dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan antara dua teori ini
sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain bahkan hidup
berdampingan di dalam masyarakat.
3.2. Saran
Setelah kita mempelajari
tentang Kewarganegaraan Komunitarianisme, maka kita diharapkan faham dan
mengetahui mengenai Teori Kewarganegaraan tersebut. Selain itu, kita juga
diharapkan agar dapat memahami kedudukan dari Teori Kewarganegaraan
Komunitarianisme dalam Masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Wahab., (1998) Kajian Terhadap Kinerja Kurikulum 1994 dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi, Bandung : Jurusan PPKN dan Hukum IKIP Bandung
Beiner, Ronald., (1995) Theorizing Citizenship,New York: State University of New York Press
Hadad,Ismail. 1979. Kebudayaan Politik dan
Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES Jakarta. Bina Aksara
Soemantri, Muhamad Nu’man (2010) Menggagas Pembaruan Pendidikan IPS, PT Remaja Rosdakarya,
Surakarta: Tawamangu
Varma,SP.
1987. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Press.
0 komentar:
Post a Comment