Kumpulan Makalah, Artikel, Musik, Tutorial, Ilmu Pendidikan, Hukum, Kewarganegaraan dan sebagainya.

Friday, 28 October 2016

Ilmu Kewarganegaraan Komunitarian

Ilmu Kewarganegaraan Komunitarian
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga kami mampu dan dapat menyelesaikan makalah yang kami beri tema “Teori Kewarganegaraan Komunitarian”. Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kewarganegaraan.
Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Lodovikus Bomans Wadu, M.Pd., selaku dosen mata kuliah Ilmu Kewarganegaraan,   yang telah membimbing kami dan telah banyak memberikan saran dan motifasi kepada kami. Dan tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman kelompok kami yang telah membantu membuat makalah ini sehingga tugas makalah ini bisa kami selesaikan dengan baik.
Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan makalah ini. Walaupun demikian bukan tidak mungkin ada terdapat kesalahan penulisan dalam mengerjakan makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan masukan dan kritikan yang bersifat membangun dari teman-teman atau pembaca sekalian , sehingga dapat menjadi masukan bagi kami dalam penulisan yang akan datang. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

                                                                                                Malang, 24 Oktober 2016

                                                                                                Penulis










DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..                        i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………                       ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang ……………………………………………………                      1
1.2. Rumusan masalah ………………………………………………..                       1
1.3. Tujuan penulisan …………………………………………………                      2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Macam-macam teori kewarganegaraan ………………………….                      3
2.2. Definisi Teori Kewarganegaraan Komunitarian …………………                      6
2.3. Dasar Kewarganegaraan Komunitarian …………………….........                     7
2.4. Politik Komunitarianisme dalam Kewarganegaraan Komunitarian                     9
2.5. Hubungan teori kewarganegaraan liberal dan teori
 kewarganegaraan komunitarian ………………………………….                      11
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ………………………………………………………                     15
3.2. Saran …………………………………………………………….                      15
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..                     16
  


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Gerard Delanty mengemukakan bahwa komunitarianisme menekankan pada peranan komunitas dalam mendefinisikan dan membentuk individu. Kemunculan teori ini berlandaskan pandangan bahwa identitas dan karakter pribadi tidak mungkin terbentuk tanpa lingkungan masyarakat. Delanty juga mengemukakan komunitarianisme memiliki tiga tipe utama: komunitarianisme liberal (liberal communitarianism), komunitarianisme konservatif (conservative communitarianism) dan komunitarianisme sipil (civic communitarianism). Meskipun ada perbedaan dalam setiap tipe, namun secara umum Delanty mengemukakan bahwa komunitarian sangat menekankan pada fakta bahwa setiap orang perlu mengetahui sejarah perkembangan masyarakat. Selain itu, di dalam masyarakat ada code of  conduct yang harus dipatuhi anggota karena dengan cara inilah eksistensi dan keberlangsungan masyarakat atau kehidupan suatu komunitas dapat terjamin.
Komunitarianisme juga percaya bahwa komunitas dibutuhkan untuk menyeimbangkan kekuatan sentripetal dan sentrifugal yang terkandung didalam masyarakat. Kekuatan sentrifugal seperti individualisasi, ekspresi pribadi dan kebebasan kelompok dapat merusak kohesi sosial dan secara ekstrem dapat menghasilkan anarki sosial. Kekuatan sentripetal seperti pelayanan nasional, hukum, mobilisasi ikatan sosial dan pengaturan konsep-konsep normatif mungkin akan menjadi kebersamaan yang berlebihan. Oleh karena itu, komunitas perlu memelihara kekuatan-kekuatan ini secara seimbang agar tidak terjatuh ke dalam anarki sosial atau kolektivisme

1.2  Rumusan Masalah
1.      Berapa macam teori kewarganegaraan?
2.      Apakah definisi dari Kewarganegaraan Komunitarian?
3.      Apakah dasar dari adanya Kewarganegaraan Komunitarian tersebut?
4.      Bagaimana Politik Komunitarianisme dalam Kewarganegaraan Komunitarian?
5.      Bagaimanakah hubungan teori kewarganegaraan liberal dan teori kewarganegaraan komunitarian?




1.3  Tujuan Penulisan
1.      Agar kita mengetahui berbagai macam teori kewarganegaraan
2.      Agar kita mengetahui apa Pengertian dari Kewarganegaraan Komunitarian.
3.      Agar kita mengetahui dasar dari adanya Kewarganegaraan Komunitarian.
4.      Agar Kita Mengetahui Bagaimana Politik Komunitarianisme dalam Kewarganegaraan Komunitarian.
5.      Untuk memahami hubungan teori kewarganegaraan liberal dan teori kewarganegaraan komunitarian.

 BAB II
PEMBAHASAN
2.1.  Macam-macam teori kewarganegaraan
1.    Teori Kewarganegaraan Liberal (Liberalism)
Teori Liberal muncul  pada  abad 17 dan  18  serta  berkembang  pesat pada abad 19 dan 20. Teori  ini tentang kewarganegaraan dimulai dari pandangan yang bersifat individualistis. Teori ini bersumber dari ideologi individualisme yang berpaham kebebasan individu terutama bebas dari campur tangan negara dan masyarakat.
Teori ini berpendapat bahwa warga negara sebagai  pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Berdasarkan  pandangan teori ini yang memandang warga negara secara individual dan hanya memaksimalkan keuntungan yang dimilikinya. Perspektif ini bercirikan  penekanan  pada individu, dan kapasitas individu untuk mengubah identitas kelompok atau kolektif, untuk menghancurkan belenggu identitas pasti (status sosial, hirarkis, peran tradisional), untuk menentukan ulang tujuan seseorang. Teori kewarganegaraan liberal menekankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak.
Peter H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002) menyatakan bahwa pengaruh  besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara sistematis melalui John locke dan J S Mill. Menurut Locke individu dianugerahi dan dihiasi oleh Tuhan dengan hukum  alam dan berupa hak-hak alamiah. Individu sebelumnya hidup dalam alam alamiah, kemudian masuk dalam kehidupan masyarakat politik.
Teori Locke tentang kepemilikian (Locke’s theory of property) menyebutkan ada tiga elemen sentral bagi kewarganegaraan liberal. Pertama, individu dapat menciptakan kekayaaan atau kepemilikan dan menambah dominasi kepemilikan itu melalui kerja.Kedua, perlindungan terhadap kepemilikan merupakan fungsi utama hukum dan pemerintahan; dan Ketiga, pelaksanaan yang sah menurut hukum atas hak-hak kepemilikan secara alamiah mengasilkan ketidakmerataan yang adil. JS Mill berpendapat bahwa  individualitas dan  kepentingan diri  merupakan sumber  bagi kemajuan  dan  kebaikan  sosial.
Menurut  Peter  H  Suchuk  ada  5 Prinsip Dasar Teori  Liberal  Klasik. Pertama, mengutamakan kebebasan individu yang dipahami sebagai kebebasan dari campur tangan Negara. Kedua, proteksi yang luas terhadap kebebasan berpikir, berbicara dan beribadah. Ketiga, kecurigaan terhadap kekuasaan negara dalam mengatasi individu. Keempat, pembatasan kekuasaan negara pada bidang atau aktivitas individu dalam berhubungan dengan yang lain.Kelima, anggapan yang kuat dapat dibantah mengenai kebaikan hati dalam hal masalah pribadi seta bentuk lain yang mendukung pribadi.
Sedangkan salah satu teori  liberal modern, adalah  yang dikemukakan oleh TH Marshall dalam bukunya Citizenship and Social Class (1950), menurutnya kewarganegaraan diartikan sebagai status yang dianugerahkan bagi mereka sebagai anggota komunitas yang  mencakup hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Jadi kewarganegaraan di dasarkan  atas elemen hak dan berdasar ini terdapat bentuk kewarganegaraan sipil, kewarganegaraan politikdan kewarganegaraan  sosial.
Kewarganegaraan social muncul di abad 19, missal mendapat kesejahteraan dan keamanan. Hak sosial menjadi unsur yang penting untuk menggerakan hak sipil dan politik bagi mereka yang dimarjinalkan dan dalam  situasi  yang tidak beruntung Menurut dia hak merupakan hal yang penting  dan ketiadaan  hak  menjadikan warganegara  tidak  dapat  berperan  aktif secara efektif. Baginya  kewarganegaraan (hak) dapat memperbaiki konflik dalam kelas di masyarakat.

2.      Teori Kewarganegaraan Komunitarian (Communitarianism)
Teori ini sangat menekankan pada fakta bahwa setiap warganegara perlu memiliki sejarah perkembangan masyarakat. Individualitas yang dimiliki warganegara berasal dan dibatasi oleh masyarakat (Supriya, 2007). Hal itu berdasar keyakinan teori ini bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Prespektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis   atau  kelompok budaya, solidaritas  diantaranya  orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yangsama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas  orang-orang  yang  dibiarkan teratomisasi  oleh  kecenderungan yang  mengakar pada masyarakat liberal. Komunitarian  menekankan  pada  kebutuhan untuk menyeimbangkan  hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan komunitas sebagai  kesatuan  dan bahwa individu terbentuk dari budaya-budaya dan nilai-nilai  komunitas. Pada  abad 20  muncul  teori  kewarganegaraan  komunitarian sebagai reaksi dari teori kewarganegaraan liberal, kalau  teori kewarganegaraan liberal yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk  dari  pilihan-pilihan bebas  individu, sedangkan  teori ini  berpendapat  justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai  keyakinan- keyakinannya.
Komunitarianisme  menekankan  pentingnya  komunitas  dan  nilai sosial bersama. Pokok-pokok  ajaran  komunitarianisme  antara  lain,  adalah  sebagai berikut:
-          Komunitas adalah arbiter (yang berkewajiban) dalam kehidupan bersama;
-          Nilai-nilai sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama;
-          Nilai-nilai sosial  tersebut  pada gilirannya merupakan croos societal moral dialoge.
Dalam  masyarakat  perlu   pembentukan   konsensus  bersama  dan  nilai-nilai moral merupakan dasar  pertimbangan bagi  pembentukan  nilai  sosial bersama sebagai konsensus. Tanpa nilai-nilai sosial dan konsensus, kehidupan  bersama akan hancur. Keputusan atas nilai-nilai  yang  disepakati  menjadi milik  bersama dan secara sukarela merupakan sustu keteraturan sosial. Konsensus ini bisa terjadi di tingkat  lokal  (kelompok), national (nation)  maupun  kemungkinan  berlaku  pada masyarakat global.

3.      Teori Kewarganegaraan Republikan (Republicanisme)
Teori  ini  berpendapat  bahwa   masyarakat  sebagai   komunitas  politik adalah pusat kehidupan  politik. Kewarganegaraan  republican menekankan  pada  ikatan-ikatan  sipil (civic  bonds) suatu  hal  yang  berbeda dengan  ikatan-ikatan   individual (tradisi  liberal)  ataupun   ikatan  kelompok (tradisi komunitarian). Sementara kewarganegaraan liberal  lebih menekankan pada  hak (right), sedangkan kewarganegaraan  republikan  menekankan  pada kewajiban (duty) warganegara.
Kewarganegaraan   Republikan   merupakan   bentuk  kewarganegaraan yang paling  tua dari  pada  komunitarian, yang  menyatakan  pentingnya partsipasi warga dalam pengambilan  keputusan di wilayah  republik, bukan hanya sebagai hak dan kewajiban tetapi sebagai esensi dari adanya ikatan sipil. Ia menempatkan tanggung jawab social pada masyarakat dari pada  negara, percaya bahwa tradisi budaya bukan Negara yang dapat menguatkan  civil society.
Dalam tradisi Yunani dan Romawi, masyarakat adalah negara itu sendiri sebagai  lembaga   publik. Warganegara   akan  mempunyai   arti  jika  mereka terdiri dalam kehidupan publik atau kehidupan bernegara. 
Teori  kewarganegaraan  republikan baik  yang klasik  maupun  yang  humanis merupakan  paham   pemikiran   kewarganegaraan  yang   berpendapat,  bahwa bentuk  ideal  dari   suatu negara  didasarkan  atas  dua  dukungan, yakni  civic virtue wargannya  dan  pemerintahan yang republic karena ini  merupakan hak yang esensial, sehingga disebut civic republic. 
Jadi kewarganegaraan ini menekankan pentingnya kewajiban (duty), tanggung jawab  (responsibility)  dan  civic  virtue  (keutamaan  kewarganegaraan)  dari warganegaranya. Civic  virtue   dalam  republik    Romawi   berarti   kesediaan mendahulukan kepentingan publik.
Warganegara yang  baik menurut Republik  Klasik Teori  JJ  Rousseau adalah yang mendahulukan kepentingan umum, jika ada warganegara yang mendahulukan kepentingan pribadinya  di  atas kepentingan umum (publik)  berarti  dia melakukan korupsi. Kepentingan  umum  (publik) itu di  formulasikan melalui apa yang yang dinamakan general will/volonte generale (kehendak umum). Negara  yang ideal adalah negara yang warganya  tidak mementingkan dirinya sendiri, negara yang diatur oleh general will/volonte generale. Di  dalam kewarganegaraan repunlikan memiliki karakteristik etis  demikian juga status   legal/hukum.
Warganegara  dalam    suatu  republik   tidak  hanya dilindungi  oleh  hukum, tetapi  juga  tunduk  pada   hukum. Kewarganegaraan mempunyai dimensi etis yang  dimunculkan  dalam dua cara. Pertama, bahwa warganegara yang baik adalah yang memiliki  semangat publik ( public spirit) yaitu menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan  pribadi. Kedua, komitmen  pada  masalah  publik  yang dimanivestasikan sebagai suatu komitmen  keterlibatan  sipil.
Warganegara  yang  baik  akan  mengambil   tanggungjawab public ketikamuncultanpaharusmenungguyang   lainnya, bahkan ia  akan mengambil bagian  yang aktif di dalam  masalah publik. Warga negara republican dapat mengambil bagian dengan  berbagai bentuk dalam masalah publik maupun untuk kepentingan umum. Secara nyata dapat melalui pengorbanan/loyalitas  warga negara, misalnya ikut serta dalam pembelaan negara (perang), membayar pajak serta mentaati hukum yang berlaku.

2.2.  Definisi Teori Kewarganegaraan Komunitarian
Komunitarian adalah Teori Kewarganegaraan yang Menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal.
Ciri-ciri Utama Teori Kewarganegaraan ini adalah Individu dibentuk oleh masyarakat, karena di masyarakat terdapat sistem norma yang disepakati sebagai rule of conduct., Tindakan individu harus sesuai dengan batas-batas yang diterima masyarakat., Identitas dan stabilitas individu Warga Negara akan terbentuk dengan baik ketika didukung oleh masyarakat., Masyarakat merupakan hal sangat vital bagi adanya kewarganegaraan (tiada kewarganegaraan tanpa masyarakat).
Teori ini sangat menekankan pada fakta bahwa setiap warga negara perlu memiliki sejarah perkembangan masyarakat. Individualitas yang dimiliki warga negara berasal dan dibatasi oleh masyarakat. Hal itu berdasar keyakinan teori ini bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Prespektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis   atau  kelompok budaya, solidaritas  diantaranya  orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas  orang-orang  yang  dibiarkan teratomisasi  oleh  kecenderungan yang  mengakar pada masyarakat liberal. Komunitarian  menekankan  pada  kebutuhan untuk menyeimbangkan  hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan komunitas sebagai  kesatuan  dan bahwa individu terbentuk dari budaya-budaya dan nilai-nilai  komunitas. Pada  abad 20  muncul  teori  kewarganegaraan  komunitarian sebagai reaksi dari teori kewarganegaraan liberal, kalau  teori kewarganegaraan liberal yang berpendapat bahwa masyaraka terbentuk  dari  pilihan-pilihan bebas  individu, sedangkan  teori ini  berpendapat  justru masyarakatlah yang menentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai  keyakinan- keyakinannya.
Komunitarianisme  menekankan  pentingnya  komunitas  dan  nilai sosial bersama. Pokok-pokok  ajaran  komunitarianisme  antara  lain,  adalah  sebagai berikut:
-          Komunitas adalah arbiter (yang berkewajiban) dalam kehidupan bersama;
-          Nilai-nilai sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama;
-          Nilai-nilai sosial  tersebut  pada gilirannya merupakan croos societal moral dialoge.
Dalam  masyarakat  perlu   pembentukan   konsensus  bersama  dan  nilai-nilai moral merupakan dasar  pertimbangan bagi  pembentukan  nilai  sosial bersama sebagai konsensus. Tanpa nilai-nilai sosial dan konsensus, kehidupan  bersama akan hancur. Keputusan atas nilai-nilai  yang  disepakati  menjadi milik  bersama dan secara sukarela merupakan sustu keteraturan sosial. Konsensus ini bisa terjadi di tingkat  lokal  (kelompok), national (nation)  maupun  kemungkinan  berlaku  pada masyarakat global.

2.3.  Dasar Kewarganegaraan Komunitarian
Kaum komunitarian menolak negara netral. Mereka percaya bahwa negara netral seharusnya ditinggalkan demi politik kebaikan bersama (the politics of common good). Pembedaan antara politik netralitas dan politik kebaikan bersama dari komunitarianisme ini dapat menyesatkan. Ada kebaikan bersama yang juga nampak dalam politik liberal, karena berbagai kebijaksanaan negara liberal ditujukan untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan berbagai anggota masyarakat. Proses-proses politik dan ekonomi yang dengan ini berbagai preferensi individu dipadukan dalam sebuah fungsi pilihan sosial merupakan cara kaum liberal menentukan kebaikan bersama. Karena itu, menegaskan netralitas negara bukanlah menolak gagasan tentang kebaikan bersama, melainkan memberikan sebuah interpretasi mengenainya. Dalam sebuah masyarakat liberal, kebaikan bersama merupakan hasil dari sebuah proses memadukan berbagai preferensi, yang semuanya dihitung secara sama (jika konsisten dengan prinsip-prinsip keadilan). Semua preferensi memiliki bobot pengaruh yang sama bukan dalam arti bahwa terdapat sebuah ukuran yang disepakati publik atas nilai intrinsik yang membuat semua konsepsi ini menjadi sama, melainkan dalam arti bahwa berbagai preferensi itu sama sekali tidak dievaluasi dari sudut pandang publik. Seperti yang sudah kita saksikan, penegasan anti-perfeksionis pada netralitas negara ini mencerminkan kepercayaan bahwa kepentingan orang dalam membawakan sebuah kehidupan yang baik tidak meningkat ketika masyarakat melakukan diskriminasi terhadap proyek-proyek yang mereka percayai sebagai paling berharga bagi mereka. Maka, kebaikan bersama dalam sebuah masyarakat liberal diatur agar sesuai dengan pola berbagai preferensi dan konsepsi tentang kebaikan yang dipegang oleh individu.
Akan tetapi, dalam sebuah masyarakat komunitarian, kebaikan bersama diterima sebagai sebuah konsepsi mendasar tentang kehidupan yang baik yang menentukan pandangan hidup komunitas. Kebaikan bersama ini, alih-alih menyesuaikan dirinya sendiri pada pola preferensi orang, menyediakan ukuran untuk mengevaluasi berbagai preferensi itu. Pandangan hidup masyarakat membentuk dasar bagi tata jenjang (rangking) publik mengenai berbagai konsepsi tentang yang baik, dan bobot yang diberikan pada preferensi individu bergantung pada seberapa besar ia menyesuikan dengan dan memberikan sumbangan pada kebaikan bersama ini. Pencarian publik akan tujuan-tujuan yang dirasakan bersama yang menentukan pandangan hidup  komunitas, karena itu, tidak terhambat oleh persyaratan netralitas. Ia berada mendahului klaim individu-individu terhadap sumberdaya dan kebebasan diperlukan untuk mengejar konsepsi-konsepsi mereka sendiri akan kebaikan. Sebuah negara komunitarian dapat dan seharusnya mendorong orang untuk menerima konsepsi-konsepsi tentang kebaikan yang sesuai dengan pandangan hidup masyarakat, sementara mencegah berbagai konsepsi tentang kebaikan yang bertentangan dengan pandangan hidup komunitas ini. Sebuah negara komunitarian, karena itu, merupakan negara perfeksionis, karena melibatkan penjenjangan nilai publik  dari berbagai pandangan hidup yang berbeda. Namun, walaupun erfeksionis Marxis merangking pandangan hidup menurut  penilaian trans-historis atas kebaikan manusia, komunitarianism merangking pandangan hidup itu menurut kesesuaiannya dengan praktek-praktek yang ada.
Mengapa kita harus menyukai politik kebaikan bersama ini di atas netralitas liberal? Kaum liberal mengatakan bahwa netralitas negara diperlukan untuk menghormati orang menentukan dirinya sendiri. Akan tetapi, kaum komunitarian menolak gagasan liberal tentang penentuan-diri sendiri, dan juga hubungan yang disangka ada antara penentuan-diri sendiri dan netralitas.

2.4.  Politik Komunitarianisme dalam Kewarganegaraan Komunitarian
Teori politik kebaikan bersama kaum komunitarian melahirkan sejumlah kepedulian praktis yang penting. Walaupun teori liberal mungkin mengakui ketergantungan pilihan individu pada konteks kebudayaan, kaum liberal dalam praktek telah memusatkan kepedulian mereka pada kemerdekaan individu memilih yang menyebabkan diabaikannya akses orang pada kebudayaan. Organisasi liberal, seperti Serikat Kebebasan Sipil Amerika (The American Civil Liberties Union), telah disibukkan dengan ancaman terhadap hak kebebasan berbicara, seperti pembatasan pada literatur yang menebarkan kebencian atau material cabul. Tetapi tentunya kenyataan bahwa 10% orang usia dewasa secara fungsional tidak bisa baca tulis merupakan ancaman yang lebih serius terhadap partisipasi orang yang tidak terkekang dalam ruang pasar kebudayaan daripada pembatasann pada kecabulan. Dan kenyataan bahwa pemilikan media sedemikian terkonsentrasi sehingga sejumlah pandangan menjadi diam secara sistematis merupakan ancaman yang lebih serius pada pertukaran informasi secara bebas daripada pada literatur yang menebarkan kebencian. Kaum liberal seringkali bekerja dengan prioritas yang membingungkan dalam wilayah kebudayaan.
Mengingat kegagalan memastikan bahwa setiap orang memiliki akses yang bermakna kepada pencapaian kebudayaan dan deliberasi kolektif dari komunitas ini, keinginan komunitarian untuk menciptakan sebuah bahasa dan praktek tentang politik kebaikan bersama dapat dipahami. Sayangnya, bahasa dan praktek semacam itu paling-paling tidak relevan untuk demokrasi modern dan yang lebih buruk lagi menjadi tidak toleran. Dalam kenyataannya, baik kaum liberal maupun kaum komunitarian telah mengabaikan masalah yang sebenarnya yang terlibar dalam penciptaan kondisi-kondisi kebudayaan untuk penentuan diri.
Pertimbangkan persoalan hasa. Baik kaum komunitarian maupun kaum liberal bekerja, secara implisit ataupun eksplisit, dengan anggapan bahwa semua negara adalah negara kebangsaan (nation-state) bahwa setiap orang dalam negaranya masing-masing memiliki nasionalitas yang sama, dan dengan demikian juga bahasa yang sama, dan dapat berperan serta dalam perdebatan yang bermakna mengenai kebudayaan. Tetapi kebanyakan negara adalah negara multi-kebangsaan, terdiri dari dua atau lebih komunitas bahasa. Di Kanada, misalnya, ada Perancis dan Ingris, dann juga bahasa asli yang dipertahankan oleh komunitas Indian dan  Inuit. Haruskah kita mencoba menciptakan keseragaman bahasa atas nama persamaan liberal atau kebaikan bersama komunitarian? Sebagian kaum liberal dan komunitarian telah menganggap bahwa inilah tujuannya dan karena mempertahankan program-program untuk mengasimilasikan bahasa minoritas. Tetapi yang lain telah menentang asimilasi sebagai jelas tidak fair  (mengapa orang Perancis atau orang asli Indian harus berasimilasi dengan bahasa Inggris, terutama jika kenyataannya mereka telah ada terlebih dahulu di Kanada sebelum Inggris. Tetapi jika kita mengijinkan kebudayaan minoritas tetap ada, hak-hak apa yang sebenarnya mereka miliki dalam hubungannya dengan bahasa? Baik orang Perancis maupun orang asli Indian di Kanada memiliki hak-hak hukum yang khusus dirancang untuk melinding kebudayaan mereka yang berbeda misalnya, hak atas pendudukan publik dalam bahasa mereka sendiri, dan hak untuk menggunakan bahasa mereka dalam berhubungan dengan pemerintah dan pengadilan. Lebih dari itu, mereka memiliki kekuatan untuk memaksakan pembatasan pada hak-hak bahasa dari yang bukan Perancis atau bukan penduduk asli yang berpindah ke tanah kelahiran mereka. Hak-hak khusus dan/atau institusi yang terpisah juga terdapat bagi kelompok bahasa minoritas di Amerika Serikat (misalnya, penduduk Puerto Rico atau India Amerika), untuk populasi penduduk asli Australia dan Selandia Baru, dan untuk kelompok bahasa minoritas di Belgia, Swiss dan banyak di negara-negara dunia Kedua dan Ketiga.
Di semua negara ini, pertanyaan tentang bahasa siapa yang dipergunakan oleh negara di sekolah, pengadilan, dan birokrasi merupakan pertanyaan yang penting dan bersifat memecah belah. Tentu, pertanyaan ini telah menjadi sumber utama konflik dalam banyak negara ini. Namun, sia-sia  mencari diantara kaum liberal dan komunitarian kontemporer menemukan diskusi tunggal tentang pertanyaan ini. Mereka memperdebatkan apa peran yang harus dimainkan negara dalam mempromosikan kebudayaannya dan memperkaya bahasanya, tetapi mereka tidak pernah mempertanyakan kebudayaan siapa dan bahasa yang mana. Mereka memperdebatkan apakah sekolah harus mempromosikan konsepsi khusus dari kebaikan, tetapi mereka tidak mempertanyakan apa bahasa yang seharusnya dipergunakan sekolah itu. Jika mereka mulai mempertanyakan pertanyaan dasar ini, sebagian besar dari apa yang sudah berjalan bagi kearifan yang diterima sehubungan dengan hubungan antara negara dan kebudayaan akan segera usang. Sebenarnya, saya telah mengatakan di tempat lain bahwa banyak dari kearifan yang diterima sehubungan dengan makna hak-hak yang sama dan anti-diskriminasi harus juga diabaikan dalam negara-negara multi-nasional. Kenyataannya adalah bahwa kita tidak mengetahui apa yang diperlukan dalam negara-negara-multi nasional baik dalam netralitas liberal maupun kebaikan bersama komunitarian. Ini boleh jadi merupakan contoh paling jelas tentang bagaimana penekanan kaum komunitarian akan tesis sosial telah terlepas dari setiap pengamatan aktual tentang hubungan antara individu, kebudayaan dan negara.

2.5.  Hubungan teori kewarganegaraan liberal dan teori kewarganegaraan komunitarian
Demokrasi adalah cara atau seni pergaulan hidup untuk mencapai kebaikan bersama. Banyak orang memahami bahwa prinsip dasar demokrasi adalah kebebasan individu. Saya menolak pandangan ini. Prinsip dasar demokrasi, dalam pandangan kami, adalah mendengarkan dan menghargai orang lain. Jika demokrasi dimaknai sebagai pemerintahan rakyat, maka pemerintah harus banyak mendengarkan suara rakyat dalam mengambil keputusan dan bertindak.
Sebagai seni pergaulan hidup demokrasi bisa diwujudkan dalam level prosedural dan kultural. Demokrasi prosedural antara lain terkait dengan mekanisme pembuatan keputusan, penentuan pemimpin, dan artikulasi kepentingan masyarakat. Demokrasi pada level kultural terkait dengan budaya atau tatakrama (fatsoen) pergaulan hidup sehari-hari dalam arena masyarakat sipil. Ini tercermin dalam kultur yang toleran, terbuka, egalitarian, bertanggungjawab, mutual trust, kepedulian warga, kompetensi politik, dan seterusnya.
Gagasan demokrasi seperti itu mungkin bisa diterima secara universal. Akan tetapi pemikiran dan penerapan demokrasi prosedural sangat beragam karena dipengaruhi oleh dua tradisi pemikiran: demokrasi liberal vs demokrasi komunitarian. Menurut tradisi liberal, demokrasi prosedural diukur dengan bekerjanya tiga nilai penting: kontestasi (kompetisi), liberalisasi dan partisipasi. Seperti terlihat dalam tabel 1, ketiga elemen ini berbasis pada individualisme dan semangat kebebasan individu. Secara prosedural kompetisi, liberalisasi dan partisipasi dilembagakan dalam pemilihan dan lembaga perwakilan. Setiap individu bebas berkompetisi memperebutkan jabatan-jabatan publik baik eksekutif maupun lembaga perwakilan (legislatif) melalui proses pemilihan. Setiap individu bebas berpartisipasi dalam pemilihan umum, atau menggunakan hak suaranya secara bebas tanpa tekanan, ancaman atau mobilisasi. Prinsip one man one vote sangat dipegang teguh oleh pandangan liberal ini. Di sisi lain, untuk menjamin kebebasan kompetisi dan partisipasi, sangat diperlukan liberalisasi, atau sebuah jaminan hukum atas penggunaan hak-hak politik setiap individu. Artinya setiap orang harus bebas untuk berbicara, berkumpul, berserikat, memperoleh informasi dari pers yang bebas dan lain-lain. Proses pemilihan sebagai sebuah wadah kompetisi dan partisipasi harus berjalan secara bebas dan fair, yang dalam konteks Indonesia dikenal dengan asas luber dan jurdil.
Tabel 1
Dua tradisi demokrasi
No
Item
Liberal
Komunitarian
1.
Sumber
Tradisi liberal ala Barat
Komunitarian ala masyarakat lokal
2.
Basis
Individualisme
Kolektivisme
3.
Semangat
Kebebasan individu
Kebersamaan secara kolektif
4.
Wadah
Lembaga perwakilan, partai politik dan pemilihan umum
Komunitas, commune, rapat desa, rembug desa, forum warga, asosiasi sosial, paguyuban, dll
5.
Metode
Voting secara kompetitif
Musyawarah
6.
Model
Demokrasi perwakilan
Demokrasi deliberatif

Demokrasi komunitarian lahir sebagai kritik atas demokrasi liberal, karena demokrasi liberal ini dinilai menjadi hegemoni universal yang melakukan penyeragaman praktek demokrasi prosedural di seluruh dunia. Orang di manapun akan mengatakan bahwa demokrasi adalah kebebasan individu, pemilihan secara bebas, dan partisipasi. Jarang sekali orang yang berargumen bahwa demokrasi adalah metode untuk mencapai kebersamaan secara kolektif. Tradisi komunitarian, yang peka terhadap masalah ini, memaknai demokrasi secara partikularistik dengan memperhatikan keragaman budaya,
Struktur sosial, system ekonomi dan sejarah setiap negara. Dua penganut demokrasi komunitarian, Barber (1983) danWalzer (1984), menyatakan bahwa individualisme liberal cenderung merusak kewarganegaraan dan menafikkan civic virtue. Artinya, semangat individualisme liberal itu tidak mampu memberikan landasan yang kokoh bagi kebebasan dan kesetaraan warga dalam bingkai demokrasi komunitas. Penganut komunitarian yakin bahwa rakyat selalu berada dalam ikatan komunal ketimbang individualistik, karena itu model demokrasi perwakilan cenderung menciptakan alienasi partisipasi public dan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar publik. Kaum komunitarian memang menaruh perhatian pada otonomi individu seperti kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan kebebasan individu tetapi penghargaan pada otonomi individu serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif.
Gagasan demokrasi komunitarian sangat relevan diterapkan pada level komunitas yang kecil (semisal desa) karena kegagalan demokrasi prosedural-liberal mewadahi partisipasi publik. Demokrasi liberal secara konvensional mereduksi praktek demokrasi hanya dalam kerangka pemilihan pemimpin dan lembaga perwakilan, yang diyakini sebagai wadah partisipasi publik. Format demokrasi perwakilan yang di desa ini dilembagakan secara formal melalui peraturan, yang mau tidak mau menimbulkan apa yang disebutoleh Robert Michel sebagai oligarki elite. Segelintir elite yang mengendalikan pemerintahan dan pembuatan keputusan itu umumnya bersikap konservatif dan punya kepentingan sendiri yang tercerabut dari konstituennya, tetapi mereka selalu mengklaim mewakili rakyat banyak.
Karena itu, demokrasi komunitarian sebagai pilar self-governing community, hendak mempromosikan partisipasi public dalam urusan publik, pemerintahan dan pembangunan di level komunitas. Melampaui batasan-batasan formal, demokrasi komunitarian merekomendasikan pentingnya perluasan ruang publik, pengaktifan peran kelompok-kelompok sosial, forum warga, serta jaringan antar kelompok, yang bukan saja untuk keperluan self-help kelompok, tetapi juga sebagai wahana awareness warga, civic engagement dan partisipasi dalam urusan pemerintahan di tingkat komunitas. Elemen-elemen komunitarian yang dinamis inilah yang memungkinkan penyelenggaraan pemerintahan (governance) dan pembuatan keputusan berbasis komunitas (bukan segelintir elite) secara partisipatif serta memungkinkan penggalian potensi dan kreativitas individu dalam ikatan kolektif.
Model demokrasi deliberative merupakan bentuk ekstrem demokrasi prosedural yang dijiwai oleh tradisi komunitarian. Demokrasi deliberative berbeda dengan demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung dalam hal penentuan pemimpin dan mekanisme pembuatan keputusan. Menurut penganjur demokras ideliberatif, mekanisme penentuan pemimpin dan pembuatan keputusan dilakukan dengan cara partisipasi warga secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan, melainkan melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan. Model demokrasi seperti ini memungkinkan partisipasi secara luas dan menghindari terjadinya oligarki elite dalam pengambilan keputusan. Demokrasi deliberatif juga menghindari kompetisi individual memperebutkan posisi pemimpin dalam proses pemilihan (voting) langsung, sehingga akan mengurangi juga praktek-praktek teror, kekerasan, money politics, KKN dan seterusnya.
   
BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Teori Kewarganegaraan dibagi menjadi 3 yakni Teori Kewarganegaraan Liberal yang berpandapat bahwa  warga negara sebagai  pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Teori Kewarganegaraan Komunitarian yang menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal. Teori Kewarganegaraan Republik yang berpendapat  bahwa   masyarakat  sebagai   komunitas  politik adalah pusat kehidupan  politik.
Komunitarian adalah Teori Kewarganegaraan yang Menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantara orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang-orang yang dibiarkan “teratomisasi” oleh kecenderungan untuk menggali akar masyarakat liberal.
Teori Komunitarian muncul berdasarkan atas pendapat kaum komunitarian yang  menolak adanya negara netral. Mereka percaya bahwa negara netral seharusnya ditinggalkan demi politik kebaikan bersama.
Politik Komunitarianisme dalam kewarganegaraan komunitarian telah  melahirkan sejumlah kepedulian praktis yang penting. Walaupun teori liberal mungkin mengakui ketergantungan pilihan individu pada konteks kebudayaan, kaum liberal dalam praktek telah memusatkan kepedulian mereka pada kemerdekaan individu memilih yang menyebabkan diabaikannya akses orang pada kebudayaan. 
Teori Kewarganegaraan Komunitarian dan Teori Kewarganegaraan Liberal berjalan bersama dan saling melengkapi dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan antara dua teori ini sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain bahkan hidup berdampingan di dalam masyarakat.

3.2.  Saran
Setelah kita mempelajari tentang Kewarganegaraan Komunitarianisme, maka kita diharapkan faham dan mengetahui mengenai Teori Kewarganegaraan tersebut. Selain itu, kita juga diharapkan agar dapat memahami kedudukan dari Teori Kewarganegaraan Komunitarianisme dalam Masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Azis Wahab., (1998) Kajian Terhadap Kinerja Kurikulum 1994 dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi, Bandung : Jurusan PPKN dan Hukum IKIP Bandung
Beiner, Ronald., (1995) Theorizing Citizenship,New York: State University of New York Press
Hadad,Ismail. 1979. Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES Jakarta. Bina Aksara
Soemantri, Muhamad Nu’man (2010) Menggagas Pembaruan Pendidikan IPS, PT Remaja Rosdakarya, Surakarta: Tawamangu

Varma,SP. 1987. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Press.
Share:

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Seacrh By Labels

Contact Form

Name

Email *

Message *